Peninggalan Candi Hindu-Buddha di Nusantara

Oleh: Noviola Esther – 2440022454

Pada awalnya kebudayaan Indonesia berhubungan dengan dasar religi animisme dan dinamisme. Selanjutnya dengan masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia, menciptakan kebudayaan baru dan adanya akulturasi budaya. Pada saat agama Hindu masuk ke Indonesia untuk pertama kalinya, pengaruh dari kebudayaan asing masih sedikit dan contoh peninggalan arsitektur pada zaman ini adalah candi Semar, candi Bima, candi Arjuna, dan lain sebagainya. Kemudian pada agama Hindu masuk untuk kedua kalinya di bagian Selatan Jawa Tengah yang menyebabkan adanya akulturasi kebudayaan Indonesia dengan India dan adanya proses integrasi pengaruh Hindu; contoh peninggalan pada zaman itu yaitu candi Prambanan. Sementara itu, agama Buddha masuk di Jawa Tengah dan berkembang pesat di Nusantara pada abad ke-sembilan yaitu pada masa Kerajaan Sriwijaya; contoh peninggalannya berupa candi Borobudur, candi Kalasan, dan lain sebagainya.

Perkembangan agama Hindu-Buddha di Indonesia mempengaruhi arsitektur Indonesia yang dapat dilihat dari adanya bangunan-bangunan candi yang digunakan sebagai tempat beribadah dan juga tempat pemakaman para raja-raja dan umumnya merupakan bagian dari ‘Era Klasikal’. Secara umum, candi di wilayah Nusantara dapat dibedakan menjadi dua; gaya Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetapi dikarenakan adanya variasi gaya arsitektural di daerah Jawa dan Bali yang menyebabkan terbaginya ‘Era Klasikal’ tersebut menjadi tiga periode; abad ketujuh hingga abad kesembilan, abad kesepuluh hingga pertengahan abad ketiga belas, dan pertengahan abad ketiga belas hingga abad kelima belas.

Berdasarkan Manasara, terdapat beberapa tahap dalam pembangunan kuil seperti pemilihan lahan hingga membuat ‘cetak biru’ miniatur dari kuil tersebut. Kemudian terdapat langkah pengolahan tanah, salah satu langkah tersebut yaitu Garbhadana (upacara pembenihan), dan peletakan Garbhapatra pada tempat yang ditetapkan sebagai Brahmasthana (pusat tapak. Langkah selanjutnya yaitu pembuatan diagram mandala sebagai perencanaan bentuk denah dan peletakan. Terakhir, dimulailah pembangunan candi. Pada tahap pembangunan candi terdapat beberpa perkiraan dari cara pembangunannya yang pertama dengan cara penimbunan dan pengukiran yang dilakukan dari atas ke bawah, dan cara kedua scaffolding, yaitu metode menggunakan rangka-rangka perancah.

Beberapa hal yang berkaitan dengan kreativitas bentuk dan spatial-nya dari rancangan sebuah candi dapat dilihat dari denah, perletakan, dan fasadnya, beberapa hal yang mempengaruhi hal tersebut yaitu ; komposisi geometrik, komposisi solid-void-volumetrik yang berkluster, elemen garis dan efek gelap terang, efek perspektiktifis, kesimetrisan, pusat perhatian (point of interest), proporsi dan skala, irama dan perulangan (rhythm and repetition), tekstur, mimesis, hirarki, aksis, konsep dualitas (in between), dan lain sebagainya.

Candi di Indonesia banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun kebanyakan dari masyarakat Indonesia hanya mengetahui candi-candi Nusantara yang termasyhur seperti candi Borobudur dan candi Prambanan.

Kebanyakan candi di wilayah Sumatra terletak di provinsi Sumatra Utara, namun informasi-informasi mengenai candi tersebut sangat sedikit. Di kawasan Padang Lawas, candi yang cukup dikenal yaitu candi Bahal yang terletak di Desa Bahal, selain itu terdapat candi Sipamutung. Kemudian dari Kabupaten Muaro Jambi, Jambi dapat ditemukan candi Astano, candi Tinggi dan candi Gumpung, candi Kembar baru, candi Gedong, candi Kedaton, dan candi Kota Mahligai. Terakhir yaitu candi Muara Takus yang terletak di Riau.

Beberapa contoh candi-candi di pulau Jawa antara lain ; candi Cangkuang di Desa Cangkuang, candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, candi Ronggeng atau candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis, dan lain sebagainya. Umumnya candi di Jawa Tengah menghadap ke Timur, dibangun menggunakan batu andesit, dan memiliki bentuk candi yang tambun dan terletak di bagian tengah pelataran. Terdapat selasar yang cukup lebar yang terletak diantara kaki dan tubuh candi. Terdapat hiasan kepala Kala (Kalamakara) tanpa rahang bawah yang terletak di atas ambang pintu dan relung. Umumnya bentuk atapnya melebar dengan puncak berbentuk ratna atau stupa. Sedangkan candi di Jawa Timur dinilai lebih artistik, memiliki bentuk candi yang lebih ramping dengan atap yang bertingkat dan puncak atap berbentuk kubus, umumnya kaki candi lebih tinggi dan berbentuk selasar bertingkat, penggunaan patung atau ukiran naga yang menggantikan Makara pada sisi pintu, dan terakhir relief. Kemudian untuk masuk ke bangunan utama candi, maka perlu melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan tangga.

Di Pulau Bali, candi dikenal sebagai pura, dan pura-pura tersebut dapat diklasifikasikan dalam enam jenis seperti Stupa, Prasada, Petirthan, Gua, Acrama, dan Gapura. Mayoritas masyarakat di Bali menganut agama Hindu dan umumnya setiap desa memiliki tiga pura utama yang disebut sebagai Pura Tri Kahyangan yang digunakan untuk pemujaan Sang Hyang Widi Wasa yaitu: Pura Desa untuk memuja Dewa Brahma (Sang Pencipta), Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem untuk memuja Dewa Syiwa (Sang Pemusnah).

Referensi

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/19207/90340048%20Dwi%20Muhardini.pdf?sequence=1

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjEsNn0meTxAhX78XMBHSb8CRUQFnoECAUQAw&url=http%3A%2F%2Fciptadestiara.staff.gunadarma.ac.id%2FDownloads%2Ffiles%2F68956%2FPERTEMUAN%2B1-%2BPerkembangan%2BArsitektur%2BHindu%2BBudha%2BINDONESIA.pdf&usg=AOvVaw1-9IEjlOq3j1-eTjpzIh7S

https://www.jstage.jst.go.jp/article/aija/74/642/74_642_1857/_pdf

http://repository.unpar.ac.id/handle/123456789/7923