Arsitektur Mandailing
Indonesia memiliki beragam suku dan adat dari Sabang hingga Merauke, salah satunya ialah suku Mandailing. Kelompok etnik Mandailing mendiami wilayah pantai barat Sumatera yang berbatasan dengan Samudra Indonesia, dan daerah dataran sebelah selatan provinsi Sumatera Utara berbatasan dengan wilayah provinsi Sumatera Barat. Sekarang ini wilayah Mandailing merupakan wilayah administrasi yang berdiri sendiri yang dinamakan dengan kabupaten Mandailing Natal.
Kelompok etnik ini memiliki kekayaan budaya tradisional berupa adat istiadat, arsitektur, musik, folklore, bahasa, sastra, aksara dan lain sebagainya. Sistem kekerabatan sosial yang khas dan unik yaitu berupa Dalihan Natolu yang artinya tiga tumpuan. Sistem kekerabatan sosial tersebut dinamakan demikian karena terdiri dari kelompok kekerabatan yang terdiri atas tiga komponen yang masing-masing dinamakan Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Sistem inilah yang mempngaruhi dalam penataan lay-out kampung hingga arsitektur rumah adatnya.
Penataan lay-out kampung Mandailing mengaplikasikan konsep sentral, dimana bagian yang paling tengah merupakah area yang paling penting. Area tengah atau area pusat merupakan tempat kepala suku atau raja singgah. Area ini juga digunakan sebagai tempat berkumpulnya para warga untuk mengadakan acara adat istiadat dan juga pelaksanaannya kegiatan pemerintahan adat. Kemudian area pusat ini dikelilingi dengan perumahan para warga yang ditentukan sesuai dengan kasta yang berlaku.
Lay-out yang berkonsep sentral juga diaplikasikan di dalam area pusat. Di dalam area pusat tersebut terdapat rumah adat suku Mandailing (Bagas Godang) yang merupakan tempat singgah kepala suku, balai adat (Sopo Godang), dan lumbung (Hopuk) untuk menyimpan hasil panen. Ketiga bangunan tersebut juga mengelilingi sebuah lapangan (Alaman na bolak) yang cukup luas. Halaman ini biasa digunakan sebagai tempat berkumpul dan tempat pelaksanaan upacara adat.
Rumah adat Mandailing yaitu Bagas Godang, yakni tempat singgah kepala suku. Bentuknya rumah panggung yang memanjang dari barat ke timur dengan pintu masuk utama yang menghadap ke selatan. Atapnya menghadap ke empat sisi (selatan, barat, timur, utara) yang dilengkapi dengan ornament-ornamen adat. Penataan lay-out rumah adat ini juga berkonsep sentral, dimana ruang tengahnya merupakan ruang tamu sebagai tempat berkumpul dan dikelilingi dengan ruang-ruang lainnya seperti kamar tidur, dapur, dan teras.
Untuk struktur, rumah adat Bagas Godang memiliki beberapa ciri khas yang unik sehingga membedakan antara tempat singgah kepala suku dengan rakyatnya. Salah satunya yaitu bentuk kolom dari Bagas Godang yang bebrbentuk segi delapan yang melambangkan wilayah kekuasaan kepala suku di seluruh penjuru mata angin (yaitu delapan arah). Sedangkan pada rumah rakyat bentuknya adalah persegi empat. Sistem susunan tiang pada Bagas Godang mengikuti pola grid dan ditopang oleh tiang-tiang berjumlah ganjil membentuk pola 5-7 dan 5-9, yaitu terdapat lima tiang pada sisi pendek bangunan dan tujuh atau sembilan tiang pada sisi panjang bangunan. Jumlah ganjil pada susunan tiang memberi makna magis dan sakral pada kehidupan masyarakat Mandailing. Misalnya jumlah lima berasal dari kiasan lima gonop opat ganjil (lima genap empat ganjil) mengandung arti bahwa dalam adat harus terdapat lima unsur/komponen adat yang terdiri dari suhut, mora, kahanggi, anak boru, dan pisang raut, agar seluruh kegiatan adat dapat terlaksana. Sedangkan jumlah sembilan merupakan sembilan tokoh/perangkat adat yang ada dalam kehidupan sebuah huta adat, yaitu terdiri dari raja, anggi ni raja,imbang ni raja, suhu ni raja, bayo-bayo nagodang, lelo ni raja, sibaso ni raja, gading ni raja dan goruk-goruk hapinis.
Ciri khas lainnya yang membedakan antara rumah kepala suku dengan rakyatnya yaitu jumlah anak tangga Bagas Godang yang berjumlahkan sembilan yang mewakili sembilan tokoh adat yang berwenang dalam adat dan mewakili tiap huta dari delapan arah mata angin, dimana Bagas Godang sebagai pusatnya.
Arsitektur Tradisional Mandailing lahir dari pemahaman dan pemegangan konteks lingkungan alam dan budaya setempat. Peninggalan budaya Mandailing tidak seluruhnya dapat ditelurusi lagi (napak tilas) pada masa sekarang ini, hal itu disebabkan karena langkanya informan atau saksi sejarah yang bisa memberikan keterangan yang akurat dan punahnya beberapa bukti nyata seperti punahnya Bagas Godang dan Sopo Godang di beberapa desa Mandailing. Yang masih mungkin ditemui adalah makam/kuburan tua dan tapak lokasi Bagas Godang dan Sopo Godang yang sudah rata dengan tanah, serta beberapa peninggalan sejarah berupa catatan dan karya seni lainnya, sehingga diperlukan usaha yang keras dan sungguh-sungguh untuk melestarikannya.
Referensi:
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/lemlit/article/download/12287/10611