Hustle Culture: Budaya Gila Kerja yang Populer

Hustle Culture merupakan suatu gaya hidup yang dilakukan dengan anggapan bahwa bekerja secara berlebihan merupakan satu-satunya standar untuk mencapai kesuksesan. Seringkali gaya hidup ini terjadi pada generasi muda yang senang bekerja dan tidak menyempatkan diri untuk berisitirahat. Akibatnya, penganut hustle culture sudah tidak asing lagi dengan kerja lembur hingga larut malam sampai-sampai harus menyepelekan waktu tidur. Mereka beranggapan bahwa waktu yang dihabiskan untuk melakukan sesuatu yang tidak produktif bearti merupakan waktu yang sia-sia.

The Finery Report telah melakukan survei mengenai hustle culture dan menemukan 83,8 persen narasumber berpendapat bahwa kerja lembur adalah hal yang normal. Sedangkan, 69,8 persen narasumber lainnya beranggapan bekerja pada hari pekan itu normal dan 60,8 persen narasumber akan merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja. Selain itu, narasumber mengaku bisa menghabiskan rata-rata 100 jam per minggunya hanya untuk bekerja dan segelintir narasumber memiliki waktu kerja 75-80 jam per minggu. Akan tetapi, waktu kerja per minggu normalnya adalah 40 jam yang bearti sekitar 7 jam dalam sehari. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 juga telah mengatur bahwa waktu kerja adalah 7 jam sehari dan 40 jam dalam seminggu selama 6 hari. Menariknya, anggapan bahwa menambah jam kerja adalah hal yang normal bukan merupakan cara untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi.

Pada tahun 2014, Pencavel dari Stanford University telah melakukan penelitian terkait dengan jam kerja dan produktivitas. Penelitiannya ini telah menghasilkan penemuan bahwa melakukan kerja 50 jam per minggu bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Sebaliknya, jika jam kerja sudah di atas 50 jam, maka hasilnya akan menurun. Dalam penelitiannya juga disarankan perusahaan harus lebih mengoptimalkan lamanya jam kerja pada karyawan karena bekerja dalam jangka waktu yang lama bisa menyebabkan kelelahan, stres, meningkatkan kemungkinan kesalahan dan kecelakaan, dan sakit yang bisa berdampak bagi produktivitas kerja dalam suatu perusahaan.

Selain itu, penganut hustle culture seringkali tidak menyadari bahwa gaya hidup mereka bisa menimbulkan berbagai dampak negatif bagi kesehatan fisik dan juga mental, seperti misalnya kehilangan work life balance, mengorbankan terlalu banyak jam istirahat,mengabaikan kualitas kerja, dan mengubah lingkungan kerja menjadi toxic. Alhasil, pergorbanan yang dilakukan ini nyatanya sia-sia dan malah menurunkan produktivitas kerja. Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran bahwa hustle culture bukanlah suatu gaya hidup yang merupakan solusi untuk meningkatkan produktivitas kerja.

Referensi:
Putri, A. (2022, June 9). Hustle Culture Bukan Produktif! Retrieved from Kompasiana: https://www.kompasiana.com/auliaputri3675/62a1f980fca4e465c56160a2/hustle-culture-bukan-produktif
Kompas. (2021, December 8). Apa Itu Hustle Culture? Retrieved from Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2021/12/08/160537526/apa-itu-hustle-culture-kenali-ciri-cirinya?page=all#page2