Sejarah Sepakbola Wanita

 

the-dick-kerr-s-ladies-dok-dickkerrladies-com_reference

Hampir semua orang, atau sebagian besar penduduk dunia pasti setuju jika sepak bola merupakan olahraga yang mengglobal. Sudah tidak tercipta batasan di sepak bola. Betul kah?

Jika berbicara mengenai sepak bola wanita, masih ada jurang pemisah yang cukup dalam, yaitu cibiran mengenai perbedaan jenis kelamin yang konon katanya tidak cocok bermain di olahraga full body contact seperti sepak bola. Bisa dibilang maskulinitas versus feminitas.

Perkembangan sepak bola wanita tidak lama setelah para lelaki memainkan si kulit bundar. Malah pada 23 Maret 1895 FIFA menyelenggarakan pertandingan pertama khusus wanita di lapangan Crouch End Athletic, Alexandra Park, London yang mempertemukan tim Utara dan tim Selatan. Jika klub sepak bola wanita pada era sekarang kesulitan untuk mengumpulkan penonton, hal berbeda terjadi pada saat itu. Setidaknya ada 10.000 orang menjejali sisi lapangan untuk menyaksikan sepak bola yang berbeda dari biasanya. Pada pertandingan tersebut tim Utara dikapteni oleh Nettie Honeyball, pendiri British Ladies Football Club, menang 7-1 atas tim Selatan.

Meski pada tahun 1890an merupakan periode dimana wanita mulai mendapatkan kebebasan pasca era Victoria, namun etika dan kesopanan masih terasa karena kedua tim bermain menggunakan blouse, topi dan celana baggy tiga-perempat yang lazim digunakan kala itu. Tidak mungkin menggunakan celana pendek seperti yang dipakai oleh pesepakbola lelaki karena akan dianggap terlalu vulgar. Jangankan pesepakbola wanita, pada era tersebut para lelaki yang memakai celana pendek dan memainkan bola pun masih dianggap sebagai orang gila karena berkeliaran memakai celana dalam saja.

Jika dirunut, kebebasan ini sudah mulai terasa pada tahun 1870a dengan diperbolehkannya para wanita bersekolah dan berkuliah, meski baru terbatas pada kalangan menengah dan atas saja. Di awal 1890-an, olahraga mulai diperkenalkan sebagai salah satu kurikulum sekolah kepada para wanita. Hockey, tennis dan croquet lebih lazim dimainkan karena olahraga tersebut lebih populer. Sedangkan bersepeda mulai populer pada pertengahan 1890, khususnya di kalangan feminis radikal yang mencoba mendobrak faham konservatif.

Akan tetapi ada satu olahraga yang dianggap sangat tidak cocok dimainkan oleh wanita kala itu, yaitu sepak bola. Alasannya sederhana, karena sepak bola adalah olahraga yang keras, mustahil dimainkan dengan menggunakan rok panjang, penuh body contact dan dimainkan oleh kelas menengah kebawah.

Para wanita memang diperbolehkan melakukan olahraga, tapi dengan aturan (etika) yang harus dipatuhi, yaitu, wanita diperbolehkan menjadi atlet asalkan tidak menghentikan mereka untuk tetap menjadi seorang wanita. Singkatnya, wanita tidak boleh bermain terlalu kasar, tidak boleh menunjukan bagian tubuh (harus di tempat tertutup dan tidak disaksikan lelaki) dan akan tetap berpakaian seperti layaknya seorang wanita. Tentu saja hal ini sangat bertolak belakang dengan sepak bola.

Dunia sepak bola wanita harus berterima kasih kepada Lady Florence Dixie dan Nettie J. Honeyball karena keduanya medobrak kekangan etika dan tabu yang ada di kalangan masyarakat Inggris kala itu.

Lady Florence adalah seorang novelis dan kerap mengirimkan artikel ke berbagai harian. “Football is the sport for women, the pastime of all others which will ensure health, and assist in destroying that hydra-headed monster, the present dress of women,” tulis Lady Florence di harian Pall Mall Gazette yang merujuk kepada pendobrakan tradisi konservatif oleh feminis. Lady Florence merupakan ketua British Ladies Football Club.

Sedangkan sang kapten tim, Nettie Honeyball pernah difoto menggunakan jersey klub dengan memperlihatkan kakinya. Sebuah skandal yang memalukan, bagi para pemikir tradisionil. Bagi kebanyakan pria dan juga wanita, kaki seorang perempuan terlarang untuk diperlihatkan.

Sebelum Nettie mendapat cibiran karena fotonya tersebut, sebetulnya pesepeda wanita sudah terlebih dahulu dianggap tidak sopan karena memakai celana kala bersepeda. Namun olahraga sepeda tidak sekasar dan sebrutal sepak bola pada saat itu.

Mendapat tekanan untuk bermain sepak bola dengan aturan pakaian yang lebih tertutup, Nettie tetap bersikeras karena faktor keleluasaan bergerak. “Women are not the ornamental dan useless creatures men have pictured. We don’t play any la-di-da members. We play the game in the proper spirit,” ucap Nettie.

Hingga sekarang sepak bola dan wanita masih mendapat pemisahan yang aneh. Di mulai dari wanita yang tidak boleh memasuki stadion untuk menyaksikan pertandingan, pelecehan seksual kepada perangkat pertandingan di sepak bola pria, dan tidak ada kejelasan mengenai sepak bola wanita di Indonesia padahal sudah tertuang dalam aturan FIFA.

Banyak pesepakbola wanita yang bermain bola lebih fasih dibanding lelaki. Lihat saja pemenang Puskas Award, Stephanie Roche yang mengalahkan gol-gol pesepakbola top pria seperti James Rodriguez dan Robin van Persie.

Mengakui sepak bola tidak menjadi sebuah olahraga semata, artinya harus mengamini sepak bola wanita pula.

 

Cyndie Desniasari A